Cerita masa kecil di desa ku. Sebuah cerita yang tidak akan pernah aku lupakan. Satu masa ketika aku memakai seragam putih merah di pagi hari, dan seragam coklat-coklat di sore hari. Bersekolah di waktu pagi dan bermain lumpur di sore hari.
Kumpulan Cerita Masa Kecil
Perang hujan meteor, permainan yang biasa aku lakukan sepulang sekolah di musim hujan. Ladang padi yang baru selesai dipanen atau dibajak menjadi lokasi peperangan. Sebuah permainan yang tidak bisa orang tuaku larang. Saling lempar dengan media tanah sawah adalah permainan yang menyenangkan bagi anak desa yang jauh dari kemajuan zaman.
Sabtu Pagi di Musim Hujan
Teringat jelas dalam memori otak ku. Awan mendung di Sabtu pagi. Aku memakan dua porsi sarapan pagi itu. Semangkuk bubur hangat ditemani tugas menggambar SBK (Seni Budaya dan Keterampilan) yang belum aku kerjakan. Satu suap bubur dicampur dengan beberapa gerakan menggambar tugas yang harus dikumpulkan.
Semangat tinggi membuatku ingin segera berangkat sekolah setelah sarapanku habis. Hujan semalam membuat jalan menuju sekolah masih basah. Baju hangat dan payung menjadi bekal tambahan ku di musim hujan. Aku pamit sekolah pada ibu dan ayahku yang sedang menyiapkan keperluan untuk berjualan di pasar.
Sisa Hujan Semalam
Pelan tapi pasti dengan langkah berhati hati. Jalan yang bergelombang membuat sisa air hujan menggenang di sepanjang jalan menuju sekolah. Sesekali aku harus mengangkat celana merah ku agar tidak terkena air cipratan langkah ku. Sesampainya aku di sekolah, rasanya energi sarapan bubur tadi sudah hilang karena lompatan kecil melangkahi genangan air sepanjang jalan.
Langkahku langsung tertuju ke ruangan kelas 3. Tempat aku dan teman-temanku belajar selama satu tahun pelajaran. banyak temanku yang sudah datang dan duduk di kursi masing-masing. Awalnya aku bangga melihat kejadian itu dari luar kelas. Ternyata begitu masuk, mereka sedang mengerjakan tugas SBK yang belum selesai. Rasa banggaku tadi langsung hilang entah kemana.
Deni teman sebangku ku sudah selesai mengerjakan tugas. Kami pun duduk dan berbincang sambil menunggu bel masuk berbunyi. Deni mengajak ku bermain hujan meteor nanti sore. Aku menyarankan agar rencana ini dibahas di jam istirahat. Tugas SBK yang akan dikumpulkan nanti jadi topik pengganti kami pagi itu.
Rencana Perang
Bel istirahat berbunyi pada jam 10.00 tepat. Tidak seperti biasanya, siswa kelas 3 tidak ada yang meninggalkan kelas untuk jajan atau bermain. Semuanya menghampiri meja Ujang, siswa yang multi talent di kelas ku.
Ujang membuat rencana bermain nanti sore. Perang hujan meteor menjadi permainan yang disukai semua murid di sabtu sore. Pasalnya, orangtua kami tidak akan melarang kami untuk kotor-kotoran di sawah karena besok hari libur.
Kami sepakat untuk bermain di sawah milik orangtua Ujang. Kebetulan lokasinya strategis dari rumah kami. Permainannya adalah kucing-kucingan dengan media tanah sawah yang dibulatkan. Tempatnya pun di tengah sawah yang baru selesai panen atau dibajak.
Satu hal yang paling menarik adalah ketika menjelang pulang. Semua orang bebas melemparkan bola lumpur pada siapa saja. Cuaca hujan atau mendung akan sangat mendukung keseruan permainan ini. Tempat dan orang yang akan bermain sudah ditetapkan. Sisanya tinggal menunggu dukungan cuaca nanti sore.
Menunggu Sebuah Kepastian
Jarum panjang menunjukkan jam 11 siang. Bel pulang berbunyi diiringi teriakan murid SD yang sudah kebelet pulang. Aku meninggalkan kelas sambil memberi kode tangan untuk acara nanti sore. Deni, Ujang dan temanku yang lain mengangguk tanda mengerti.
Setelah sholat dzuhur, langit masih terlihat cerah dengan panas matahari yang tidak terlalu menyengat. Harap cemas menghampiri pikiranku. Aku tidak ingin acara nanti sore gagal karena cuaca yang tidak mendukung. Pesimis melihat cuaca saat itu, tapi optimis karena sedang musim hujan.
Akhirnya Hujan Turun
Setelah ashar, aku dan Deni duduk di teras masjid. beberapa saat kemudian langit mulai mendung. Gerimis datang mendadak menghujani desa ku.
Kaum Ibu sibuk mengangkat pakaian yang sedang dijemur dengan wajah cemas dan tergesa-gesa. Aku dan Deni mempunyai ekspresi yang 180 derajat berbeda. Kami tersenyum dan pulang ke rumah bersiap menuju sawah tempat permainan akan dilaksanakan.
Belum selesai memakai celana, Deni sudah memanggil ku dari luar rumah. “Ali, hayu!” (Ali, ayo!). Teriak Deni sambil menepuk tangannya seolah menyuruh ku untuk cepat keluar rumah. Aku pamit pada orangtua dan berlari keluar dengan baju yang belum sempurna aku pakai.
Hujan Meteor di Tengah Sawah
Aku dan Deni berlari menuju sawah tempat kami akan bermain. Hujan yang semakin deras membuat rasa senang kami semakin besar. Langkah kaki kami semakin cepat karena ingin segera sampai di sawah. Aku melihat dari kejauhan Ujang dan temanku yang lain sudah menunggu di sawah.
Kami semakin mempercepat lari di atas pematang sawah. Sesampainya kami di sawah, kami langsung melakukan hompimpa untuk mengundi siapa yang jaga. Orang yang jaga akan mengejar pemain lain dengan bola tanah di tangan. Jika lemparannya mengenai pemain lain maka orang itu jaga, dan begitu seterusnya.
Permainan pun dimulai, Ruslan jadi orang yang pertama jaga. Temanku langsung berlari menjauh, Ruslan menghitung sampai 10 dan permainan pun dimulai. Kami berlari menghindari Ruslan di satu petak sawah ukuran 20 x 15 meter. Selama bermain, kami tidak boleh keluar dari petakan sawah tersebut.
Lelah yang Terlupakan
Belum setengah jam kami bermain, pakaian kami sudah berubah warna menjadi coklat tanah. Beberapa kali kami terjatuh saat berlari.
Tanah sawah yang selesai dibajak memang menyulitkan langkah kaki kami. Curah hujan semakin lama semakin lebat. Kami terus berlari menghindari bola lumpur tanpa menghiraukan rasa lelah yang kami rasakan.
Hari kian gelap, puji-pujian yang menandakan waktu hampir maghrib terdengar dari masjid. Sebuah alarm pengingat supaya kami segera berhenti bermain. Ujang meminta kami segera berkumpul di tengah sawah. Inilah saat yang paling kami tunggu. Puncak permainan yang selalu kami tunggu.
Jarak sawah orangtua Ujang ke jalan sekitar 400 meter. Setiap kami pulang, kami lomba lari sambil saling lempar bola lumpur. Inilah yang kami beri nama hujan meteor. Kali ini tidak ada orang yang jaga. Semuanya akan saling lempar tanpa pandang bau, maksud ku pandang bulu.
Hujan Meteor yang Sebenarnya
Peraturan permainan kami sebelum pulang ini sedikit berbeda. Pertama, kami membuat lingkaran dengan jarak antar pemain sekitar satu lencang kanan. Kemudian kami berputar di tempat sebanyak 10 putaran. Lumayan memusingkan untuk kami yang masih kelas 3 SD waktu itu.
Sepuluh putaran selesai dilakukan, permainan pun dimulai. Kepala yang masih pusing membuat beberepa temanku terjatuh dan jadi sasaran lemparan bola lumpur. Selanjutnya kami berlari meninggalkan sawah menuju arah yang berbeda. Bola lumpur tanpa henti dilempar dari depan ke belakang, begitu pula sebaliknya.
Hujan meteor lumpur terjadi sangat cepat hingga semua orang keluar dari sawah menuju jalan desa. Suara tawa menjadi akhir permainan kami sore itu. baju yang sudah full colour terkena lumpur menjadi oleh-oleh kami menuju rumah. Biasanya kami membersihkan lumpur di kolam warga yang banyak terdapat di desa.
Seminggu Lagi, Teman
Permainan yang selalu membuat aku tertawa bahagia ini tidak bisa dilakukan setiap hari. Ini adalah agenda mingguan. Tidak ada orangtua yang mengijinkan anaknya bermain lumpur setiap hari. Hari sabtu adalah pengecualian karena besok hari libur. Lagi pula tidak ada Ibu yang mau mencuci pakaian anaknya yang berlumpur setiap hari.
Setelah perang lumpur itu, aku dan temanku mulai terpisah. Kami berkelompok sesuai arah rumah masing-masing. Kolam orangtua Deni menjadi lokasi aku dan beberapa temanku membersihkan lumpur. Kami selalu berpisah dengan ucapan yang sama setiap sabtu sore “saminggu deui, lamun hujan” (seminggu lagi, kalau hujan).
Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan
Itulah cerita masa kecil ku yang menyenangkan. Bermain lumpur bersama teman di tengah sawah yang tidak banyak orang bisa lakukan. tertawa dan ditertawakan adalah hal yang biasa.
Tertawa karena melihat temanku terjatuh saat berlari, atau bahkan jika temanku terkena bola lumpur. Apalagi ketika mengenai wajah, permainan bisa berhenti sesaat karena tawa yang tak tertahankan.
Itulah salah satu cerita masa kecil ku di desa. Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Jika kalian ingin tahu bagaimana pengalaman masa kecil ku yang mungkin tidak kalian alami.